ZAKIR NAIK NAIK DARAH Bagaimana INI
Beberapa pihak yang bertanya dalam acara Zakir Naik di Indonesia mengaku bahwa mereka datang dari keluarga Muslim dan sekarang menjadi atheis. Melihat kenyataan ini Zakir Naik akhirnya tidak mampu lagi menahan amarahnya dan 'memuntahkannya' pada sesi ceramah di Makassar ketika menjawab pertanyaan dari seorang atheis yang mendewa-dewakan ilmu politik melebihi ajaran Islam, sekalipun berasal dari keluarga Muslim.
Zakir Naik menjadi naik darah
Tenyata banyak keluarga Indonesia yang tidak peduli dalam menjaga keimanan keluarga mereka berdasarkan sikap yang selama ini sering dibangga-banggakan beberapa orang sebagai simbol kemajuan berpikir : bertoleransi. Zakir Naik tidak habis pikir, ketika orangtua melihat anaknya terlibat narkoba mereka mampu untuk bersikap khawatir dan berusaha menyelamatkan anak-anak mereka, disaat anaknya mau terjun dari bangunan tinggi karena ingin meniru Superman, mereka panik dan pasti akan mencegahnya. Namun ketika si anak terpengaruh dengan ajaran kekafiran dan atheisme, mereka sanggup untuk membiarkannya atas nama toleransi dan kebebasan berkeyakinan, padahal kerusakan yang ditimbulkan dari murtadnya seorang anak manusia jauh lebih berat dibandingkan dari kerusakan karena narkoba.
Ini mungkin merupakan kesalahan mendasar dalam keluarga kita, saat ini seorang anak bisa lebih fasih berbicara tentang humanisme, demokrasi, toleransi, kesetaraan gender dan hak azazi manusia dibandingkan soal keimanan kepada Allah, karena mereka sejak kecil memang dicekoki keinginan duniawi dan dibekali kemampuan hidup seirama dengan perkembangan peradaban yang mungkin sudah salah arah. Tidak aneh kalau seorang ayah sering mengatakan harapannya agar si anak sukses jadi orang berpangkat, punya duit banyak, dihormati masyarakat, namun pembicaraan dimeja makan jauh dari soal menghadirkan Allah ditengah-tengah mereka. Padahal berpedoman dari perjalanan sejarah Rasulullah, justru dimasa awal kenabian beliau di Makkah, aspek keimanan inilah yang ditanamkan terlebih dahulu sebelum berbicara soal politik, sosial dan ekonomi.
Menanamkan kehadiran Allah tidak harus memaksa si anak belajar mengaji, menguasai Al-Qur'an dan bahasa Arab, hapal ayat-ayat, dll, Tentu saja ini penting, tapi ketika misalnya orangtua berbincang-bincang santai, mereka selalu mengkaitkan setiap kejadian yang diterima keluarga, baik berupa anugerah maupun musibah, merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan Allah beserta segala sifat-Nya.
Disaat menyuap nasi dan menerima gaji, sekali-sekali seharusnya ayah berkata :"Ini rejeki dari Allah, tanpa kemurahan-Nya kita tidak bisa makan sekalipun berusaha sehebat apapun..", atau sebaliknya ketika menghadapi musibah orangtua mengingatkan anaknya ;"Allah pasti punya maksud baik mengapa Dia mendatangkan musibah ini buat kita, sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya hamba-Nya yang beriman..". Untuk semua ini, tidak diperlukan kemampuan tinggi dari orangtua dalam ilmu agama, harus masuk pesantren, belajar nahwu syarof, menguasai kitab kuning, dll.
Saya sendiri berpikir, apakah selama ini saya sudah mendidik anak-anak untuk selalu ingat dan menghadirkan Allah dalam setiap langkah mereka dan hanya bisa mendoakan semoga mereka selamat dalam menjalani kehidupan, karena mereka sudah besar dan akan memilih sendiri kehidupan model apa yang akan dijalani. Juga sekaligus mengingatkan kepada sahabat-sahabat yang sudah terperangkap dalam sikap bertoleransi dan lebih memasukkan tujuan-tujuan duniawi kepada anak-anak :"Apakah anda tidak bisa melihat bahaya besar yang akan terjadi terhadap anak keturunan..?".
Percayalah, ini bukan persoalan sepele
ZAKIR NAIK NAIK DARAH
Oleh : Arda Chandra